Peningkatan Industrialisasi Perikanan dan Kelautan di Indonesia Berbasis Modal Social sebagai Trust dalam Pembiayaan Nelayan melalui Microfinance Syariah
Oleh : Puji
Astutik dan Yhunas Adi Gularso
Potensi
Perikanan sebagai Sektor Agribisnis di Indonesia
Secara fisik, Indonesia
adalah negeri kepuluan terbesar di dunia, terdiri atas 17.508 buah pulau dan
perairan lautnya sekitar 3,1 juta km persegi atau 62% dari luas seluruh
teritorialnya. Indonesia mempunyai hak
atau kewenangan memanfaatkan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) seluas 2,7 juta km
persegi, untuk eksplorasi, ekploitasi, pengelolaan sumber daya hayati dan non
hayati, penelitian, yurisdiksi mendirikan instalasi atau pulau buatan (Dahuri,
2002). Dari struktur laut tersebut, Potensi perikanan tangkap di Indonesia 6,5
juta ton/tahun, tapi sebagian besar nelayan masih miskin. Sedangkan Potensi
perikanan budidaya tambak lebih dari 1,2 juta ha, tapi baru dimanfaatkan kurang
dari 50%. Lahan budidaya laut lebih dari 12 juta ha, yang dimanfaatkan baru
sekitar 117 ribu ha. Jika melihat kinerja produksi dan daya saing negara-negara
kompetitor utama seperti halnya jepang
dan korea produksi mereka semakin pesat walaupun perairan mereka tidak
terlampau luas. Namun, produksi dan daya saing di Indonesia hampir tidak bergerak.
Tabel 1. Data
Perkembangan nilai Ekspor Perikanan negara – negara di Dunia 2006 - 2010
Sumber. Kementrian Kelautan dan Perikanan,2012
Berdasarkan data tersebut
diatas, nilai ekspor perikanan dunia terus meningkat sejak 2003 dan pada tahun
2010 mencapai lebih dari US$ 103 milyar. Urutan pertama adalah Cina dengan
nilai US$ 13,5 milyar dengan market share 13,5%. Posisi berikutnya
adalah Norway, Thailand, Amerika Serikat, Vietnam, dan Kanada, masing-masing
US$ 8,66 milyar, US$ 7,01 milyar, US$ 4,54 milyar, US$ 4,26, dan US$ 3,80
Indonesia menempati urutan 12 dengan nilai sekitar US$ 2,6 milyar dengan market
share 2,5%. Padahal potensi perikanan dan kelautan di Indonesia jauh lebih
besar daripada cina, thailand bahkan vietnam. Di Indonesia sektor ini disebut
sebagai sektor agribisnis dimana sebagian besar merupakan sektor mikro dan
menengah.
Tak
dapat dipungkiri, sektor usaha kecil merupakan sektor yang sangat potensial
dalam mempercepat laju pembangunan nasional. Hal ini terbukti dengan penyerapan
tenaga kerja yang mencapai 110.880.154 jiwa di tahun 2012 yang meingkat
sebanyak 5,83% dari tahun sebelumnya. Tidak hanya itu sektor usaha kecil, mikro
dan menengah memberikan kontribusi yang cukup besar bagi PDB Indonesia.
Kontribusi tersebut meningkat dari tahun 2011-2012 sebesar Rp 2.579.388,40
Milyar menjadi Rp 2.951.120,60 Milyar.
Jika kita lihat dari jumlah unit usaha, menurut data dari Menteri
koperasi dan UKM pada tahun 2011 mencapai 54.559.969 unit dan meningkat di
tahun 2012 sebanyak 56.534.592 unit. Dari jumlah tersebut, usaha mikro terbesar
berasal dari sektor agribisnis.
Namun, berkaitan dengan struktur pembiayaan, sektor ini mempunyai permasalahan
internal pada kelemahan modal dan kurangnya akses petani terhadap lembaga
keuangan. Hal ini disebabkan usaha agribisnis
mikro merupakan jenis usaha yang tidak
bankable. Padahal jika dilihat dari kinerja sektor agribisnis itu sendiri
mampu memberikan kontribusi yang nyata pada perekonomian. Oleh karena, itu
perlu dukungan lembaga keuangan mikro syariah dalam menghadapi sistem
permodalannya. Dalam hal ini, microfinance merupakan lembaga keuangan yang
sesuai dengan karakter sektor agribisnis. Jika dilihat secara konseptual,
micofinance mempunyai dua tujuan utama yang erat kaitannya dengan UKM. Tujuan
tersebut adalah untuk tujuan komersial dan pengembangan masyarakat. Sebagai LKM
target dari microfinance adalah menurunkan tingkat kemiskinan, memberdayakan
wanita dan kelompok masyarakat yang terpinggirkan, menciptakan lapangan
pekerjaan serta mengembangkan usaha nasabahnya yaitu usaha kecil menengah (UKM)
(Buchori,2003).
Meskipun demikian, dari sisi pemodal, membiayai sektor agribisnis penuh
dengan resiko diantaranya (1) resiko reputasi yang mana sektor ini banyak
beroperasi secara informal dengan kemampuan manajerial rendah sehingga di
anggap sulit menentukan penentuan dalam evaluasi 5C (character, capacity, collateral, capital, condition ) sebelum
pembiayaan. (2) resiko operasi, resiko ini timbul dari karakter UKM yang
melahirkan biaya tinggi akibat dari proses screening dan monitoring yang harus
dilakukan oleh lembaga pembiayaan.[1]
Sehingga kita memerlukan modal sosial sebagai jaminan pembiayaan kolektif untuk
memperkecil resiko dan mengembangkan kapasitas sumber daya insani dikalangan
sektor tersebut dalam mengakses pembiayaan.
Sedangkan dengan menganalisis faktor internal dan ekternal dari lembaga
Keuangan Syariah (LKS), Wulandari (2004) mengemukakan strataegi pengembangan
adalah dengan meningkatkan pemahaman umat Islam terhadap ajarannya dan
memanfaatkan fatwa MUI tentang haramnya riba, memasukkan sektor agribisnis
dalam portofolio kredit secara signifikan yaitu memperbesar pendanaan, menyediakan
pola pendanaan yang berbeda berdasarkan subsektor kegiatan (pertanian,
perkebunan, peternakan, perikanan, kehutanan) dan memberlakukan sistem
pendanaan dengan merediksi jadwal panen serta
memperkuat struktur kelembagaan.
Model Group
Based Financing sebagai Solusi Pembiayan Berbasis Modal Sosial
Kita tahu bahwa esensi utama dari pembiayaan adalah adanya kepercayaan
antara kedua belah pihak. Saat ini, lembaga pembiayaan masih sulit memberikan
kepercayaan terhadap UKM utamanya sektor agribisnis karena resikonya yang
terlampau besar. Untuk itu diperlukan modal sosial seperti jaringan sosial,
norma, kepercayaan yang memfasilitasi koordinasi dan kerjasama untuk manfaat
bersama. Dengan demikian, bentuk pembiayaan yang sangat beresiko dapat
ditanggung secara kolektif yang dianggap mampu melahirkan jaminan sosial.
Sebelumnya Greemen Bank di Bangladesh telah menerapkan Group Based Lending
yang ditujukan pada segmen yang
selama ini diistilahkan non bankable
person. Penilaian tersebut disegementasikan pada mereka yang kurang atau
tidak memiliki watak yang sesuai untuk diberikan kredit, tidak memiliki
jaminan, kurang atau tidak memiliki kemampuan untuk membayar utang berdasarkan
kriteria 5C. Berdasarkan hal tersebut, Group
Based Lending dapat diaplikasikan
pada sementasi agribisnis yang juga merupakan non bankable industry dengan menjadikan norma sosial sebagai
instrumen kontrol antar individu. Model ini dilakukan dengan pendekatan Individual Loan Joint Liability sehingga
mampu melahirkan struktur modal sosial sebagai subtitusi dari jaminan fisik
untuk memperoleh pembiayaan. Berikut adalah aplikasi group based lending pada group
based financing oleh LKMS.
Gambar 1. Mekanisme Pembiayaan Group Based Financing,Yudi (2013) dengan
Perubahan
Dengan mekanisme tersebut di atas
sub sektor agribisnis dengan usaha yang sama misalkan nelayan tuna membentuk
grup subsektor dengan mekanisme dan parameter sebagai berikut;
1. Sub sektor usaha agribisnis yang sama baik
perorangan maupun perusahan membentuk grup dangan 5 – 10 anggota.
2. Dari grup subsektor tersebut dilakukan
pemilihan ketua, penetuan prosedur kerja antar kelompok (controlling, enforcing repayment, evaluasi bisnis, pertemuan rutin)
serta menganalisa kebutuhan anggota serta bekerjasama dengan LKMS sebagai mitra
pembiayaan. Selain itu juga melakukan sharing
and training dari angggota untuk anggota.
3. Pengajuan pembiayaan dilakukan secara kolektif
namun, pembiayaan ditujukan kepada masing – masing usaha/anggota. Sehingga
mereka bersama – sama bertanggung jawab terhadap pengembalian pembiayaan
anggota. Mekanisme penanggungan pembiayaan ini adalah dengan penanggungan
patner, sangsi dan tekanan sosial serta melakukan metode tabungan
wajib/sukarela bagi setiap anggota.
4. Pengurus yang tergabung dalam grup subsektor
harus mengelola pertemuan rutin, bertanggungjawab memonitor kinerja usaha
anggota dan memberikan sanksi atas ketidakpatuhan anggota. Selain itu, juga
bekerjasama dengan pihak LKMS dalam pengembalian pokok modal, margin atau bagi
hasil.
5. LKMS melakukan penilaian masing – masing
anggota dan menganalisis kebutuhan anggota.
6. Hubungan timbal balik antara LKMS dan Bank
syariah merupakan alternatif bagi LKMS dalam memperoleh tambahan modal
pembiayan.
Aplikasi model ini dapat mengurangi
biaya transaksional yang tinggi, adverse
selection, serta adanya moral hazard.
Dengan mekanisme grup per subsektor usaha maka biaya operasional untuk
monitoring dan screening rekan bisnis dapat terkurangi. Hal ini sangat berbeda
ketika pembiayaan kecil dilakukan untuk perorangan yang terkadang alokasi biaya
pengawasan tidak sebanding dengan pembiyaan yang diberikan. Selain itu,
pengawasan ganda dari grup dan pihak pemberi pembiayaan (dalam hal ini LKMS)
mampu mengurangi biaya pengawasan maupun persoalan yang timbul karena adanya adverse selection. Selain itu, adanya
kontrol sosial dari masing – masing anggota akan mampu menjamin efektivitas
modal sosial dan meningkatkan kapabilitas serta kapasitas masing – masing
anggota dalam hal kemampuan manajerial, kewirausahaan serta kontrol dalam
melakukan moral hazard.
Microfinance syariah merupakan pilihan utama dalam mengembangkan sektor
mikro dalam agribisnis ini karena di dalam fungsi microfinance terdapat fungsi
sosial dan pembangunan terhadap masyarakat yang lemah. Sehingga dalam hal ini,
microfinance syariah perlu meningkatkan perannya terhadap sektor
agribisnis untuk menembangkannya dari sisi pembiayaan. Karena prinsip utama
dalam ekonomi syariah adalah bagaimana
kita mampu menciptakan pemerataan dan bukan sekedar pertmbuhan semata tentunya
dengan pinsip ta’awun sesama umat yang bertanggung jawab sesuai etika bisnis
Islam yang semestinya. Bahwasannya bisnis dalam Islam tidak semata – mata berfungsi untuk mendapatkan
profit dunia saja, tetapi ada prinsip dan tanggung jawab yang harus kita
lakukan. Prinsip dan tanggung jawab tersebut antara lain, menjaga lingkungan dan melestarikannya ( Surat Al-Maidah
ayat 32), berupaya untuk menghapus kemiskinan (Surat Al-Hasyr ayat 7),
mendahulukan sesuatu yang bermoral bersih daripada sesuatu yang secara moral
kotor (Surat Al-Maidah ayat 13), serta Jujur dan amanah (Surat Al-Anfal ayat
27).
DAFTAR PUSTAKA
Ashari, 2009, Roles of National Bnaking in Agricultural Finance in Indonesia. Forum
Penelitian Agro Ekonomi Volume 23 No 2. 132 – 147
Bank Indonesia, 2013, Perkembangan
Produk Domestik Bruto, Jakarta : Bank Indonesia
_____________, 2013, Statistik
Perbankan Syariah April 2013, Jakarta : Bank Indonesia
Buchori, Ahmad dkk. 2003. Kajian Kinerja BPRS di Indonesia,
Buletin Ekonomi dan Perbankan, Volume 5, No 4, 64 - 123
Burhanuddin
Susanto, Hukum Perbankan Syariah di
Indonesia, UII Press, Yogyakarta,.182-183
Faisal, Yudi Ahmad, 2013, Keuangan Syariah dan Industri Kreatif :
Eksplorasi Framework Konstruktif dalam Mengakselerasi Industri Perbankan
Syariah, Bahan – bahan terpilih dan Hasil Riset Terbaik. Bank Indonesia,
167 – 187
Hoetoro, Arif dkk.2012, Model pengembangan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) melalui
Pendekatan Clustering yang Dinamis dan Integratif (Kaji tindak pada klaster
industri kecil Jawa Timur), Universitas Brawijaya, Malang
Kemenkop dan UKM, 2013, Perkembangan Data Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) dan Usaha
Besar (UB) Tahun 2011 – 2012, Jakarta : Kemekop dan UKM
Kementrian Kelautan dan Perikanan, 2012.Kebijakan Industrialisasi Kelautan dan
Perikanan di Indonesia, Jakarta : Kementrian Kelautan dan Perikanan
Muhari, Syafaat, 2013, Tingkat Efisiensi Bank Perkreditan Rakyat Syariah di Indonesia,
Bahan – bahan terpilih dan Hasil Riset Terbaik. Bank Indonesia, 22 – 49
Mastur, akhmad amien, 2006. Penataan Kelembagaan dan permodalan bagi
Pengembangan Industri Berbasis pertanian. Prosiding Seminar Nasional
Teknologi Inovatif Pascapanen untuk Pengembangan Industri Berbasis Pertanian.
36-41
Rivai,Veithzal dan Andria Veithzal. Islamic Financial Management. Jakarta:PT.Grafindo Persada, 2008
Sari, Dinar
Frihastika.2011, Analisis dan Strategi daya
saing dan pengembangan Agribisnis Kedelai di Indonesia, Departemen
Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor, Bogor
Sholihin,
Ahmad Ifham. 2010. Buku Pintar Ekonomi
Syariah (ebook). Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Wibowo,Drajad H, Aria Putra.2002, Agribisnis Sebagai
Soko Guru Perekonomian Daerah: Tantangan di Tengah Upaya Pemulihan Ekonomi dan
Euforia Desentralisasi
Wulandari, S dan Suroso, AI.2004, Lembaga Kuangan Syariah Alternatif Strategis
Memajukan Sektor agribisnis. Agrimedia, Volume 9, No 1, 40 – 53
[1] Faisal,Yudi
Ahmad, 2013, Keuangan
Syariah dan Industri Kreatif : Eksplorasi Framework Konstruktif dalam
Mengakselerasi Industri Perbankan Syariah,
Bahan – bahan terpilih dan Hasil Riset Terbaik. Bank Indonesia
Comments
Post a Comment
Tulis Komentar disini