Oleh
: Puji Astutik
Jurusan
Manajemen, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Brawijaya
I.
Latar
Belakang
Tantangan
globalisasi semakin menuntut bangsa ini untuk selalu sigap dan selektif dalam
segala bidang terlebih bidang ekonomi yang semakin rentan terhadap masalah
sosial kemasyarakatan rakyat indonesia saat ini. Tak bisa dipungkiri bahwa
sistem perekonomian yang di anut oleh indonesia ini merupakan sistem
perekonomian terbuka yang selalu berjalan beriringan dengan negara lain maka,
diperlukan suatu kestabilan perekonomian nasional untuk kesejahteraan dan
kemajuan Indonesia di masa mendatang.
Dimulai dari krisis
moneter yang melanda seluruh kawasan Asia Tenggara yang diawali dengan
merosotnya nilai tukar Bath Thailand terhadap Dollar Amerika Serikat. Saling
ketergantungan perdagangan diantara negara ASEAN telah menimbulkan ketimpangan
neraca pembayaran dinegara-negara dikawasan tersebut. Keadaan ini lebih
diperparah lagi dengan beraksinya para spekulan uang yang memanfaatkan keadaan[1].
Negara yang mempunyai hutang dalam valuta asing baik yang dilakukan oleh
Pemerintah maupun swasta dalam jumlah besar yang akan mengalami pukulan paling
berat, apalagi dinegara yang sebagian besar industrinya tergantung dari bahan
baku impor.
Di Indonesia,
hutang Pemerintah, BUMN, dan swasta tercatat per Maret 1998 masing-masing
sebesar US$. 54,39 milyar, US$. 11,18 milyar, dan US$. 83,64 milyar.
Hutang-hutang ini ternyata yang dilakukan swasta sebesar US$. 32 milyar sudah
jatuh tempo tahun 1998[2]. Hal
ini menyebabkan ketidaksehatan sistem perbankan di Indonesia tertuama adalah
bank konvensional yang mulai di kembangkan saat itu. Inflasi semakin meningkat
dan daya beli masyarakatpun menjadi merosot tajam.
Kemudian Gubernur Bank Indonesia dalam
pidatonya di Sidang Tahunan Dewan Gubernur IDB ke-24 tanggal 3 November 1999
mengatakan antara lain : " We in the central bank as well as in
other public authorities have a strong believe that banks and other financial
institutions operating on the basis of shari'ah principles can cope with
various problems better than conventional financial institutions. And although
a thorough study is still to be conducted, preliminary indicators have shown
that shari'ah banks are more resilient in the time of financial and economic
crises like the one we in Indonesia have gone through, particulary because the
risk are share among parties involved ".
Sebenarnya perkembangan bank syariah mulai terasa sejak dilakukan amandemen
terhadap UU No. 7/1992 menjadi UU No. 10/1998 yang memberikan landasan operasi
yang lebih jelas bagi bank syariah. Sebagai tindak lanjut UU tersebut, Bank
Indonesia mulai memberikan perhatian lebih serius terhadap pengembangan
perbankan syariah, yaitu pada bulan April 1999 membentuk satuan kerja khusus
yang menangani penelitian dan pengembangan bank syariah (Tim Penelitian dan
Pengembangan Bank Syariah dibawah Direktorat Penelitian dan Pengaturan
Perbankan) yang menjadi cikal bakal bagi Biro Perbankan Syariah yang dibentuk
pada 31 Mei 2001, dan sekarang resmi menjadi Direktorat Perbankan Syariah Bank
Indonesia per Agustus 2003 lalu.
II.
Pembahasan
Definisi Bank syariah menurut undang –
undang nomor 21 tahun 2008 adalah bank yang menjankan kegiatan usahanya
berdasarkan prinsip syariah. Dalam sistem pengoperasiannya di Indonesia, bank
syariah merupakan lembaga keuangan yang tahan terhadap krisis dan senantiasa
mendukung pertumbuhan sektor rill di Indonesia.
Peranan
perbankan syariah dalam pengembangan sektor riil dapat dilihat dari skema yang
dikembangkan dalam pembiayaan bank syariah dan kontribusi nyata yang
disumbangkan oleh perbankan syariah sebagai lembaga intermediasi keuangan.
Dilihat dari skema pembiayaan yang dikembangkan, bank syariah rata
– rata menyalurkan
pembiayaannya untuk sektor riil di berbagai sektor ekonomi.
Berikut adalah tabel pembiayaan bank syariah dalam sektor ekonomi per 2005 –
2011.
Sumber
; Statistik Perbankan Indonesia Vol 10 No 1 Desember 2011
Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa,
dalam perkembangannya, bank syariah mempunyai grafik meningkat dari tahun ke
tahun. Bank Indonesia memperkirakan pangsa pasar bank syariah bisa tumbuh 10
persen atau dua kali lipat dan menyaingi bank konvensional lima tahun
mendatang. Deputi Gubernur Bank Indonesia Halim Alamsyah dalam Musyawarah
Nasional ke-5 Bank Syariah di Hotel Bidakara, Rabu, 21 Maret 2012. Mengatakan
bahwa Hal ini bisa tercapai jika laju pertumbuhan ini bisa kita pertahankan[3].
Total aset perbankan syariah rata-rata tumbuh 40,5 persen dalam lima tahun.
Head of Centre for Islamic Finance,
Bahrain Institute of Banking and Finance Mohammad Omar Farooq mengakui minimnya
skala perbankan syariah Indonesia jika dibandingkan dengan Malaysia yang
memiliki industri perbankan syariah terbesar di dunia. Namun, Indonesia
seharusnya bisa memimpin perbankan syariah dunia dengan situasi makroekonomi
Indonesia yang stabil. Sedangkan menurut Direktur Perbankan Syariah Bank
Indonesia, Mulya E Siregar, prestasi perbankan syariah nasional sebagai yang
keempat terbesar di dunia. Peringkat ini diraih oleh Indonesia berdasarkan
Islamic Finance Country Index (IFCI) yang dipublikasikan pada Global Islamic
Finance Report (GIFR) 2011. Indonesia meraih skor 29, dibawah Iran, Malaysia
dan Saudi Arabia yang menempati posisi tiga besar. Iran sendiri meraih skor 63,
sedangkan Malaysia dan Arab Saudi masing-masing meraih skor 40 dan 35. Indeks
tersebut didasarkan atas pengembangan institusi keuangan syariah di tiap
negara.
Sumber
; Statistik Perbankan Indonesia Vol 10 No 1 Desember 2011
Dari grafik di atas semakin jelas dan
nyata pertumbuhan pembiayaan, DPK dan aset yang dimiliki oleh BUS maupun UUS di
Indonesia, jika hal ini lebih dikembangkan lagi, mengingat potensi sektor rill
di Indonesia semakin berkembang, maka akan menjadi kekuatan bank syariah di
Indonesia yang tahan terhadap gejolak krisis dunia.
Kekuatan sistem perbankan syariah
sebenarnya terletak pada dibinanya kebersamaan antara ketiga pihak yaitu
nasabah penyimpan dana, bank, dan nasabah peminjam atau penerima pembiayaan.
Kerena tidak ada pergeseran (shifting) "cost of fund" maka tidak ada
pihak yang selalu diuntungkan (karena bebas cost of fund) dan tidak ada yang
selalu menanggung cost of fund diujung proses. Disini jelas diantara ketiganya
tidak ada perbedaan kepentingan karena ketiganya mempunyai kepentingan yang
sama yaitu memperoleh keuntungan optimal baik dalam keadaan perekonomian yang
lesu maupun perekonomian yang bergairah dan dikelola secara harmonis. Dengan
kebersamaan dalam kepentingan yang sama untuk memperoleh keuntungan optimal
dalam keadaan apapun ini, maka tidak mengherankan apabila perbankan syariah
adalah sistem perbankan yang tangguh untuk segala cuaca perekonomian.
Ada dua azas operasional yang harus
ditaati dalam mengelola bank syariah, yaitu : azas jual-beli, dan azas
penyertaan (investasi). Dengan azas jual beli dianut prinsip "ada barang
ada uang" artinya barang ada pada pemasok dan uang ada pada bank. Nasabah
yang memerlukan pembiayaan untuk memiliki suatu barang pada prinsipnya tidak
akan menerima uang tunai, adalah bank yang akan membayarkan uang tunai tersebut
kepada pemasok. Nasabah akan menerima barang yang diperlukan tadi langsung dari
pemasok. Selanjutnya sejak nasabah menerima barang dari pemasok, maka sejak
saat itulah nasabah mempunyai hutang yang wajib dibayar kembali kepada bank,
yaitu saat jatuh tempo pada suatu tenggang waktu tertentu (murabaha) atau saat
jatuh tempo pada waktu-waktu tertentu dalam jangka waktu tertentu (bai'u
bithaman ajil). Dengan azas penyertaan, barang atau dana yang diterima nasabah
adalah bagian dari penyertaan bank sehingga bank berhak atas bagian dari hasil
usaha nasabah. Azas penyertaan mengandung arti kebersamaan baik dalam keadaan
untung besar atau untung kecil, bahkan apabila terjadi kerugian.[4]
Ketangguhan bank
syariah sebenarnya terletak pada kebersamaan dan keberpihakannya kepada
nasabah. Pada sisi simpanan, porsi bagihasil yang diberikan kepada nasabah
penyimpan selalu lebih besar dari pada porsi bagi hasil untuk bank, sedang pada
sisi pembiayaan, porsi bagihasil yang diberikan untuk nasabah pembiayaan
mudharabah dan pembiayaan musyarakah selalu lebih besar dari pada porsi bagi
hasil untuk bank. Masih pada sisi pembiayaan, harga jual bank pada nasabah
pembiayaan murabahah dan pembiayaan bai'u bithaman ajil diusahakan selalu lebih
ringan dibandingkan dengan tingkat bunga pinjaman. Dengan kebersamaan dan
keberpihakkan ini bank syariah dapat menciptakan keharmonisan kepentingan
antara nasabah penyimpan, bank, dan nasabah pembiayaan.
III.
Kesimpulan
Dengan demikian,
Implementasi bank syariah di Indonesia melalui sektor rill akan lebih
mengembangkan pasar bank syariah itu sendiri sehingga secara mendasar Indonesia
berpeluang untuk menjadi pusat perbankan syariah dunia lima sampai sepuluh
tahun mendatang. Kebijakan pembangunan institusi syariah
secara berkelanjutan dan kesatuan lembaga fatwa, menjadi kekuatan utama. Selain
itu, adanya permintaan pasar atas produk syariah menjadi faktor utama yang
mendorong perkembangan jasa keuangan syariah di Indonesia.
[1] Para spkulan uang dalam menjalankan aksinya dilakukan dengan
memborong dollar di negara tertentu dengan mata uang domistik negeri itu yang
dimilikinya.
[2] Suara Karya, Jum'at, 31 Juli 1998, halaman III, kolom 4 s/d 7. Dalam artikel Karnaen A.P., Bank syariah sebagai alternatif
pemecahan masalah yang dihadapi Bank konvensional hal 1
[3] Martha Thertina, 2017, Pasar Bank Syariah Tumbuh
Dua Kali Lipat,Tempo( online) edisi
21 maret 2012, di akses 23 maret 2012
[4]
H. Karnaen A. Perwataatmaaja,SE.,MPA., 1998., Bank Syariah Sebagai
Alternatif Pemecahan Masalah Yang Dihadapi Bank Konvensional. Hal 14
Untuk tambahan informasi terkait postingan di atas bisa juga lihat di link : http://pena.gunadarma.ac.id/bank-persero-tambun-namun-boros/
ReplyDelete