PENDAHULUAN
Telah
lebih 1,400 tahun yang lalu ditegaskan oleh Ali bin Abi Talib r.a.
bahwa:
"satu-satunya benda yang bila diberikan pada
orang
lain tidak pernah berkurang, bahkan senantiasa bertambah tidak
ada
lain kecuali ilmu pengetahuan". Hal ini menunjukkan bahwa ilmu pengetahuan
sangat penting sebagai pondasi pendidikan. Secara formal pendidikan dapat
diraih melalui partisipasi seseorang dalam sekolah. Meskipun demikian, badan
pusat statistik republik Indonesia 2010 menyebutkan angka partisipasi sekolah
anak usia 13 – 15 tahun sejumlah 86,24 % sedangkan pada usia 16 – 18 tahun atau
bisa dibilang usia SMP hingga SMA hanya sejumlah 56,01 % kemudian untuk
pasrtisipasi pendidikan ke perguruan tinggi hanya berkisar 13,77 %.
Saat ini,
pendidikan menjadi barang mewah yang tidak dapat dijangkau oleh seluruh lapisan
masyarakat. Meskipun pemerintah telah mengucurkan dana BOS untuk mengratiskan
pendidikan mereka, tetapi Berdasarkan data, Dana Bos pada tahun 2010 hanya bisa
mengcover 70% dana Pendidikan. Dan imbasnya, 1,5 siswa SD keluar (Droup Out)
dan lainnya sejumlah 8,87 persen anak tidak melanjutkan dari 31 juta orang.
Untuk SMP sebesar 1,61 mereka Drop Out, sisanya sebanyak 21,13 tidak
melanjutkan alias putus sekolah. Berlanjut ke SMA bahwa sebanyak 2,86 mereka Drop
Out, dan 33,11 lainnya tidak melanjutkan.[1]
Menurut
M.Nuh bahwa pada tahun 2012 akan di planningkan jargon wajib
belajar 12 tahun, jadi Dana BOS pun akan di rasakan oleh pelajar SMA. Sebagai
analisis terlebih dahulu membenahi kesalaha-kesalahan sistem pendidikan tahun
yang lalu. Itu yang kiranya perlu di revitalisasi untuk perbaikan ke depan,
tidak hanya berusaha mengganti sistem yang ada, tetapi lebih penting untuk
memperbaikinya.
Tidak
hanya itu, dalam pola kebijakan perguruan tinggi pun juga perlu diperbaiki.
Justru komersialisme pendidikan yang paling dekat dirasakan dampaknya adalah
pada tingkat perguruan tinggi yang mana mewahnya biaya pendidikan di perguruan
tinggi ini membangkitkan mindset masyarakat akan mahalnya pendidikan di
Indonesia. Padahal jika di tarik rata – rata tingkat ekonomi penduduk Indonesia
adalah menengah ke bawah.jika komersialisasi pendidikan ini terus berlanjut
maka dengan berjalannya waktu perguruan tinggi hanya dapat di nikmati oleh kaum
borjuis saja.
Padahal,
jika ingin negara Indonesia ini maju maka menurut standar rata – rata tingkat
pendidikan negara maju, minimal angka partisipasi masyarakat yang mengenyam
pendidikan sampai perguruan tinggi setidaknya mencapai angka minimal 30% dari
keseluruhan jumlah penduduk. Akankah angka ini tercapai jika komersialisasi
pendidikan semakin merajalela di Indonesia. Sedangkan berdasarkan data survei
yang di lakukan oleh Political and
Economic Risk Colsutant menegaskan bahwasannya kualitas pendidikan di
Indonesia menempati urutan ke 12 dari 12 negara di Asia. Hal ini berarti bargaining
pendidikan Indonesia sangat tragis. Hal ini tidak terlepas dari komersialisai
pendidikan yang merupakan satu dari sekian banyak problem pendidikan Indonesia.
PEMBAHASAN
Pendidikan merupakan
suatu sarana pembentuk pemikiran seseorang yang menempuhnya. Adapun dalam
konsep kenegaraan sektor pendidikan akan memberikan sumbang sih yang sangat
besar dalam pemikiran kemajuan negara. Pemikiraan yang maju akan mendorong
suatu bangsa tersebut bangkit membagun sebuah peradaban yang maju pula. Dalam hal
ini UUD 1945 Pasal 31 ayat 3
mengamanatkan, “Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem
pendidikan nasional”. Kemudian Pasal 5 ayat 1 Undang - undang yang menyatakan,
bahwa setiap warga negara mempunyai hak yang sama dalam memperoleh pendidikan
yang bermutu, dan Pasal 11 ayat 1 yang menyebutkan layanan pendidikan bagi
setiap warga negara tanpa diskriminasi.
Namun, tidak demikian
halnya yang terjadi di Indonesia saat ini diskriminasi pendidikan terjadi dalam
komersialisasi. Pelik kasus yang terjadi saat ini ketika proses untuk mendapatkan blanko
pendaftaran, calon mahasiswa harus membayar biaya yang tidak kecil, dari
ratusan ribu sampai puluhan juta. Belum lagi, ketika sudah menjadi mahasiswa
yang lolos seleksi, biaya pendidikan sepenuhnya di bebankan kepada mahasiswa tanpa
ada subsidi dari kampus. Bahkan tak jarang kampus menerapkan sistem SPP tunggal
yang mana biaya pendidikan di semua kalangan adalah sama. Dalam hal ini biaya
tinggi tidak menjadi masalah bagi golongan the
have tapi faktanya hampir 50% lebih, status mahasiswa adalah berasal dari golongan
the haven’t.
Komersialisasi pendidikan disinyalir
bermula dari konsensus Washington pada 1980 silam. Pada tahun tersebut Amerika
serikat dan negara-negara maju, IMF dan Bank Dunia serta MNC melakukan
pertemuan yang menghaasilkan konsensus Washington. Dalam konsensus ini membahas
mengenai program penyesuaian struktural yang diterapkan di negaara-megara maju
terhadap negara berkembang khususnya dalam pencabutan subsidi, menaikan harga –
harga barang publik,privatisasi aset strategis dan sumber daya alam.
Komersialisasi pendidikan ini merupakan program pengurangan dan penghapusan
subsidi pemeritah terhadap pelayanan publik di sektor pendidikan dan melepaskan
harga dan biayanya kepada mekanisme pasar.
Dampak yang terjadi saat ini tentunya akses pendidikan dari
tingkat dasar sampai dengan perguruan tinggi terutama bagi masyarakat menengah
ke bawah sulit untuk ditempuh karena syaraat untuk mendapatkan pendidikan
adalah finansial yang cukup tinggi. Sedangkan kita sendiri tahu bahwa tingkat
penduduk miskin Indonesia sebesar 29,89 juta orang (12,36
persen). (Berita resmi statistik, 2
Januari 2012)
Hal ini sesungguhnya merupakan potret dari
kemiskinan struktural. Artinya, kemiskinan yang ada bukan disebabkan oleh
lemahnya etos kerja, melainkan disebabkan oleh ketidakadilan sistem. Kemiskinan
model ini sangat membahayakan kelangsungan hidup sebuah masyarakat, sehingga
diperlukan adanya sebuah mekanisme yang mampu mengalirkan kekayaan yang
dimiliki oleh kelompok masyarakat mampu (the
have) kepada kelompok masyarakat yang tidak mampu (the have not)[2].
Sebagai negara dengan 87 % penduduk beragama Islam tentunya
kita mengenal zakat, infak dan shodaqoh yang mana merupakan intrumen umat islam
dalam distribusi kekayaan kepada yang membutuhkan. Dengan adanya distribusi
kekayaan ini dengan alokasi pada pendanaan pendidikan masyarakat kurang mampu
maka, secara tidak langsung akan membantu meringankan beban mereka dalam
menghadapi komersialissasi pendidikan yang semakin tak dapat dijangkau.
Di tinjau dari segi potensi zakat yang ada di Indonesia
berdasarkan kajian Asian Development bank bahwasannya potensi zakat yang ada di
Indonesia mencapai Rp 217 Triliun. Ini belum termasuk jumlah infak maupun
shodaqoh yang di berikan oleh masyarakat. Jika di ansumsikan dari 200 juta jiwa
penduduk Indonesia ada 10 juta orang saja yang mau menyisakan Rp 1000,- saja
setiap bulannya sebagai infak yang dialokasikan untuk pendidikan maka minimal
terdapat Rp 10 Milyar perbulan atau Rp 120 Milyar per tahun. Jika secara
berkelanjutan maka dengan adaanya komersialisasi pendidikan yang ada di
Indonesia saat ini pendidikan masih dapat dijangkau.
Dengan demikian, ZIS (Zakat,Infak dan
Shodaqoh) dapat di implementasikan dalam produktivitas terutama dalam
peningkatan sumber daya manusia. Berikut implementasi pemanfaatan dana ZIS
untuk pendidikan.
Sumber,
Olahan Penulis
ZIS dapat di kelola oleh yayasan dan berkoordinasi dengan
intitusi pendidikan dengan dialokasikan melalui beastudi,asrama,bantuan guru di
daerah – daerah terpencil, bea bantuan penelitian mahaiswa serta bantuan buku.
Sehingga, multiplier efek yang dddapat dirasakan apabila sistem ZIS untuk
pendidikan ini optimum aadalah berkurangnya buta huruf yang ada di Indonesia,
terciptanya SDM Indonesia yang kompeten sehingga akan berkorelasi pada
pengurangan pengangguran yang ada di Indonesia, dengan adanya penggalangan dana
melalui ZIS ini akan mengurangi penimbunan harta yang ada sehingga inflasipun
dapat di turunkan sehingga dalam jangka panjang perekonomian Indonesia akan
meningkat.
Namun demikian, hal ini tidak serta merta berhasil di
terapkan dengan mudah tanpa adanya kesadaran antar masing – masing individu
pentingnya ZIS untuk pendidikan. Bahwasannya, dengan pendayagunaan ZIS
masyarakat miskinpun dapat mengenyam pendidikan sampai perguruan tinggi dalam
sistem komrsialisaasi pendidikan yang terjadi pada saat ini.
KESIMPULAN
Komersalisasi
pendidikan menjadikan rendahnya tingkat pendidikan yang ada di Indonesia.
Sehingga rata- rata tingkat ekonomi Indonesia yang merupakan golongan menengah
ke bawah tidak dapat menikmati pendidikan yang layak di jaman kemerdekaan seperti
saat ini. Namun demikian, apabila ZIS
sebagai instrumen pendistribusian kekayaan antara golongan the have kepada golongan the
haven’t dapat di optimalkan maka, bukan tidak mungkin masyarakat miskin
dapat menikmati pendidikan di tengah – tengah komersialisasi pendidikan.
Comments
Post a Comment
Tulis Komentar disini