Aku seorang muslim,
tetapi orang tuaku tidak mengajarkanku untuk berjilbab sedari kecil. Dulu
berjilbab merupakan hal yang tabu di lingkungan sekitarku. Keinginan untuk
berjilbab baru tumbuh saat aku SMA, dan aku mulai berjilbab pada saat SMA kelas
satu semester dua. Pertama kali datang ke sekolah dengan berjilbab, ada yang
heboh ada yang biasa aja. Tetapi, pertama kali berangkat kesekolah dengan
berjilbab, orang tua yang kaget. Maklumlah nggak ada anak sekolah yang memaki
jilbab di desaku saat itu. Apalagi kalau keluar rumah memakai jilbab, lebih
aneh lagi dilihatnya. Dikira ikut aliran inilah itulah, hmm… Bisa di bilang
saat itu adalah saat-saat paling sulit apalagi sempat ditentang orang tua
dengan memakai jilbab saat di rumah. Tidak hanya aku yang mengalaminya ternyata
beberapa yang sudah memakai jilbab lebih dulu dari aku juga mengalami hal yang
sama, itulah yang menguatkanku, taat itu
butuh tekad!
Meskipun terlambat,
Alhamdulillah masih konsisten sampai sekarang dan buah dari berjilbab itu mulai
aku rasakan saat ini hingga dunia kerja. Pernah suatu ketika di sebuah restoran jepang di kota Malang saya masuk bersama rekan kerja saya yang
kebetulan adalah seorang
laki-laki berkebangsaan jepang dan nonmuslim. Ketika buku menu diberikan oleh seorang waitress seketika laki-laki jepang itu
membuka-buka beberapa halaman menu dan menyodorkannya pada saya yang dia
katakan adalah " ini ada babi" dengan logat bahasa indonesia ala
jepang aku pun mengangguk tanda mengerti. Setelah beberapa saat,
aku pun memilih-milih menu non-daging karena menurutku lebih aman. Selanjutnya seorang pelayan menghampiri kami
kembali untuk mencatat pesanan kami, untuk setiap makanan yang saya katakan pada pelayan, pria jepang itu menanyakan pada pelayan
"halalkah?" akupun tertegun.
Hal yang
mirip pernah aku alami ketika aku berada di bangkok untuk mengikuti conference. Saat istirahat saya dan peserta conference lain dipersilahkan menuju hall hotel yang diperuntukan untuk makan
siang. Disana nampak
deretan makanan dan minuman yang beraneka ragam disajikan oleh pramusaji hotel.
Mulai dari seafood, ayam, sayur, buah, air mineral, es dan beraneka dessert khas Thailand lain ada disini. Kakiku melangkah kesebuah meja yang
berisi aneka masakan olahan daging, ayam dan seafood. Seorang pria pramusaji
yang berdiri disamping meja itu tiba-tiba berkata “No pork, No pork, No Pork” sambil menggelengkan kepala dan kedua
tangannya. Padahal aku tak bertanya apapun padanya. Ah, mungkin karena aku
memakai jilbab jadi, ia tahu bahwa aku muslim dan tidak mengkonsumsi babi. Dari
sini aku memetik hikmah bahwa dengan berjilbab, seorang muslimah akan mudah
untuk dikenali dan akan diperlakukan sebagaimana mestinya. Bangga sekaligus
nyaman rasanya berada di negeri orang dengan minim muslim seperti ini.
“Oke, thank you” Jawabku singkat terhadap pelayan itu walapun tetap saja aku tidak mengambil olahan daging.
Dari
kedua peristiwa ini aku menangkap bahwa jilbab adalah identitas muslimah, yang
membuatnya mudah untuk dikenali bahwa ia adalah seorang muslimah. Hal tersebut berkolerasi juga dengan perilaku
orang-orang sekitar memperlakukannya sebagai seorang muslimah. Jadi teringat pada
penggalan QS. Al-Ahzab: 59, yang artinya “Wahai
Nabi, katakanlah kepada istri-istri, anak-anak perempuan dan istri-istri orang
Mukmin, ‘Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.’ Yang
demikian itu supaya mereka mudah dikenali, oleh sebab itu mereka tidak
diganggu. Dan Allah adalah Maha pengampun lagi Maha Penyayang.” Jadi kenapa harus takut untuk mengenakan
jilbab.
Comments
Post a Comment
Tulis Komentar disini